
Mereka tidak boleh tahu saya menangis
Saya berasal dari keluarga sederhana. Ketika saya kelas 6 SD keluarga saya terkena musibah. Toko milik Ayah habis terbakar. Sejak itu, tiap pagi Ibu membuat kue dibantu Ayah. Tugas mengantar kue ke warung dan sekolah jatuh pada saya. Sebenarnya saya malu dan gengsi, tapi keinginan meringankan beban orang tua mengalahkan rasa itu.
Menginjak kelas 2 SMP, keadaan kami makin sulit. Saya hampir putus sekolah, karena sudah 4 bulan belum bayar SPP. Saya membantu kakek menjual abu gosok, supaya bisa membayar SPP. Ayah dan Ibu lantas memutuskan bertransmigrasi ke Kalimantan Barat. Mau tidak mau kami meninggalkan kampung tercinta di salah satu daerah Jawa Barat ini.
Sesampainya disana, saya harus berhenti sekolah, karena di lokasi transmigrasi belum ada SMU. Sebenarnya di kota ada SMU, tapi perjalanan ke sana membutuhkan biaya yang cukup mahal. Saya sering menangisi kondisi saya yang drop out. Tetapi saya sama sekali tidak mau Ayah ataupun Ibu tahu kondisi jiwa saya.
Sejak itu, sehari-hari saya hanya membantu mereka bekerja di kebun kelapa sawit. Saya sering memohon pertolongan Allah, supaya bisa melanjutkan sekolah. Hingga suatu ketika, seorang petugas penyuluh pertanian datang ke rumah. Ia bilang sedang mencari anak yang mau tinggal di kota menemani ibunya, sambil membantu pekerjaan rumah. Katanya "Anak itu akan kami sekolahkan."
Saya senang sekali. Langsung saya menyatakan mau ikut. Benarlah, sambil bekerja, saya memang disekolahkan. Karena ingin membahagiakan orang tua, saya berusaha mencapai prestasi. Hasilnya, saya sering mendapatkan beasiswa. Sisa uang beasiswa saya tabung, karena saya ingin kuliah.
Ternyata selulus SMU, saya lolos PTN di Jakarta. Selama merantau, saya tidak melimpahkan biaya kuliah pada orang tua. Saya mencari uang dengan mengajar private matematika dan menjadi kasir mini market.
Setiap pulang, meski hanya sekali dalam satu tahun, saya berusaha membantu pekerjaan di rumah. Saya pun berusaha bersikap lembut pada orang tua. Selain itu saya berusaha agar nilai kuliah tidak jeblok agar orang tua bangga. Alhamdulilah, IPK saya memuaskan. Tapi di awal semester 5, Allah memanggil Ibunda tercinta. Rasanya saya belum cukup untuk berbakti padamu, Ibu...
Thx.